Pramoedya Ananta Toer

Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.

Breaking

Loading...

Sabtu, 06 Oktober 2018

Dilan “Ngehe” 1990: Nostalgia yang Bikin Tergila-gila



(Kumparan.com)

Gini, judulnya udah nge-gas emang. Ngehe itu memiliki makna ‘gila’ tergantung dari orangnya mau menggunakan kata itu dengan aksen seperti apa, semua sesuai kebutuhan masing-masing.

Tetapi, penulis artikel-ekhm-resensi ini akan menggunakan kata ngehe untuk merepresentasikan perasaan setelah membaca novel Dilan 1990 (fakta lain, kalo gue udah baca Dilan sejak tahun 2015 sebelum banyak fangirl yang tergila-gila dengannya dan gue sering mantengin cuitan Mas Pidi Baiq di tahun yang sama via Blackberry) juga nonton filmnya beberapa bulan lalu di sebuah bioskop yang jauh dari hingar bingar perkotaan.

Oke biar gue tekankan, gue nggak benci sama Dilan, malahan menikmati jalannya cerita baik yang ada di novel maupun f-fi-fil-filmnya. Ya, filmnya. Nggak kok, gue nggak terbata-bata cuman mencoba untuk dramatis aja.



Kesan untuk Dilan-ku


Berbicara soal Dilan (versi novel) yang pernah gue baca pada tahun 2015, ambience (anjing gaya bgt gue pakek bahasa asing) oke, suasana yang dirasakan kala itu beda banget sama sekarang mengingat euphoria-nya lebih terasa saat ini. Dari kemarin ke mana aja? (tenang, jangan butthurt karena nggak semua orang begitu).

Gue baca Dilan 1990 karena rekomendasi sahabat gue bernama Gadis yang hingga saat ini kami tetap bersahabat baik. Dia meminjamkan novel Dilan padahal gue bukan penggemar kisah atau cerita ber-JANRA romantis, ya, walaupun nangis waktu nonton A Beautiful Mind hahaha asli film itu bagus banget! Ron Howard menggar—eh bangsat, balik lagi ke Dilan.

Iya, waktu itu gue sempet pengin beli novel Dilan di Gramed tapi entah kenapa kurang tertarik (terlepas dari janra ya!). Di sisi lain gue penasaran sama kisahnya mengingat segelintir kaum hawa di tempat les piano ngomongin Dilan sama Raditya Dika (waktu itu). Untung Gadis peka, dipinjemin deh novel Dilan.

Kesan pertama gue waktu baca novel Dilan 1990 adalah … kagum dan ngehe! Belum pernah seumur hidup gue merasa bersalah karena menilai buku bahkan sebelum dibaca (kala itu, inget KALA ITU!). Kenapa gue berani ngomong kagum dan ngehe? Pertama karena pembawaan Milea dalam kisah Dilan.


Kenapa Milea?


Gue suka penyampaian karakter Milea malu-malu tapi punya hati besar untuk mengungkapkan rasa takutnya. Pintar? Iya, cantik? Jangan ditanya! Milea itu sebenernya primadona di sekolahnya—tapi—dengan rendah hati dia menganggap dirinya biasa aja padahal kalo gue ditempatkan dalam posisi Milea, ya udah, gue manfaatkan kelebihan itu. HAHA! Canda. Milea gemesin kalo di novel (film juga kok).

Ketika semakin berlarut baca novel Dilan, gue ngerasa bahwa Milea ini tipe perempuan yang memiliki pemikiran terbuka banget; buat anak seumurannya. Milea punya kapasitas sebagai pejuang terlepas dari karakternya yang terlihat lemah secara kasat mata. Dalam artian, Milea bisa dengan mudah menjinakan hewan buas yang ada di dalam diri Dilan.

Misalnya melarang Dilan buat bentrok sama sekolah lain. Dilan bucin 1990 sih sebenernya hahaha! Tapi, serius, nggak semua cewek bisa begitu belum lagi Dilan yang dikenal jagoan dan secara biologis cowok kan sosok yang dominan dalam suatu hubungan namun Milea hadir untuk mempertegas bahwa dia berani berargumen juga, salut!

Pembawaan tokoh Milea yang nge-gemesin nggak cuman memberikan warna atau pelengkap kisah Dilan. Milea ya Milea. Dia punya potensi besar yang meronta-ronta di dalam dirinya untuk bisa dilepaskan. Terutama bagaimana cara Milea untuk mempertahankan hubungannya dengan Dilan.
Vanesha adalah Milea

Ketika diadaptasi menjadi film dengan judul yang sama, gue agak ragu dengan peran Milea diperankan sama Vanesha Prescilla … lagi, gue kembali merasa bersalah. Vanesha ya Milea yang gue kenal waktu baca novel Dilan seperti penguraian gue di atas sebelumnya. Dari sekian banyak adegan di novel yang lebih asyik jika dilihat dan didengar langsung, hal yang paling gue tunggu-tunggu adalah …

Gelak tawa Milea yang kata Dilan (versi novel) terdengar manis. Kesampean! Gelak tawa Milea benar-benar hidup dalam Vanesha. 

Untuk itulah, gue seneng banget kalo ada artis pendatang baru unjuk gigi dalam layar lebar. Jadi nggak monoton, aktor atau aktrisnya itu-itu aja.


Kesan Film dan novel Dilan (Gue skip kesan buat Mas Dilan karena udah jadi rahasia umum)


Jujur baru pertama gue ngeliat sutradara penggarapan film ada dua karena biasanya sutradara cuman satu (sependek yang gue tau sih) di mana Pidi Baiq juga tercatat sebagai sutradara dalam film ini. Ternyata, filmnya berjalan ok bahkan nggak banyak adegan dalam novel yang dibuang. Tapi tetep cliché sih karena percintaannya klasik dan mudah ditebak. Walaupun pakek alur mundur. Overall, gitu sih novelnya dan film DILAN 1990. Tapi tetep gue lebih suka sama pengisahan di novel ketimbang adaptasi filmnya karena  terkesan ngehe.

Gini tambahan kegelisahan gue aja, ketika film yang diagkat dari novel biasanya secara gamblang ada pengembangan cerita dalam alurnya. Misalnya kayak di film The Lord of the Rings: The Return of the King.Peter Jackson sebagai sutradara merubah adegan perang di babak akhir pertahanan terakhir Kerajaan Gondor yang harusnya nggak ada pasukan kematian (berbentuk arwah penasaran) lalu dibuat ‘ada’ oleh sang sutradara. Ya udah, Peter kan yang memimpin penggarapan film akhirnya dia merubah kisah yang udah tertulis di novel karya J. R. R. Tolkien.

Tapi kisah Dilan nggak terlalu mempermasalahkan hal itu mungkin karena Pidi Baiq juga duduk di kursi sutradara ya?

Sebenernya film Dilan ini ringan, seru dan nge-gemesin untuk diikuti. Tapi banyak kaum adam yang cemburu karena gebetan sampe pacarnya tersipu-sipu sama Aa Dilan yang diperankan Iqbal Yuwan … Iqbal Ramadhan.

Kenapa ringan? Karena menawarkan kisah cinta klasik yang cheesy dan ngambil tema anak sekolahan terutama masa-masa SMA di mana banyak kenangan terjadi pada masa itu. Semua orang pasti merasakan pahit dan manisnya berproses di SMA. Dilan memproyeksikan itu dengan baik tapi jujur aja … cheesy, kadang gue geli sama romantisme yang intens mungkin karena gue nggak ngerasain duduk di posisi Dilan jadi cemburu hahaha! Balik lagi, romance not everyone cup of tea, so am I.

Serunya karena Dilan ngambil plot percintaan tahun 90-an yang secara harfiah enak buat diikuti oleh anak zaman kini karena hal baru bagi mereka dan nostalgia bagi orang-orang tua yang nonton Dilan. Tapi gitu, setelah pemutaran film Dilan banyak cowok yang berlagak macam Dilan (puitis maksa, seragam dikeluarin terus ngegulung buku tulis buat ditaroh di saku belakang celana) dan cewek nyari pasangan musti mirip Aa Dilan hahahahaha ngehemaaf julid!

Nge-gemesin karena Dilan itu anak nakal dan Milea cewek lugu yang ngalir ngikutin orang-orang. Tapi mereka saling membenahi dan mencintai di tengah sekelumit konflik yang sering membuat mereka bertengkar. Terlepas dari gombalan Dilan yang puitis dan ngehe!

Gue berani ngomong nge-gemesin karena ada beberapa adegan di film maupun novel Dilan 1990 yang pernah gue rasain. –SPOILER ALERT- tapi gue nggak peduli spoiler, siapa suruh baca resensi gue—canda deng.

Dilan kan nembak Milea secara tertulis—bertanda tangan di atas materai setelah Dilan membacakan komitmen hubungan mereka yang disepakati dua belah pihak. Seolah kayak pengesahan Undang-undang gitu.

Nah, sumpah di sini gue tergelak karena pada tanggal 18 Agustus 2014 gue nembak mantan persis pakek Undang-undang Cinta kayak gitu. Anjing ketawa geli karena inget mantan gue yang terpaksa—malu-malu ikut nambahin butir pasal perjanjian kita. Tapi bedanya gue nggak tanda tangan di atas materai jadi waktu diputusin gue nggak bisa nuntut beda sama Dilan yang bisa nuntut karena ada bukti otentik hahaha ngehe emang! Yah, semoga mantan gue bahagia deh sekarang.


Agak Kecewa


Sebenernya gue agak kecewa sama pembawaan Dilan yang diperankan sama Iqbal Yuwan … Iqbal Ramadhan. Oke, akting dia bagus dan kerasa lah efforts­ dia untuk memerankan Dilan. Tapi gombalan dan keromantisan yang disampaikan masih terkesan kaku dan datar. Nggak seperti yang gue rasain waktu baca novelnya (catatan: gue ngomong gini bukan cemburu sama mas Iqbal).

Terlepas dari itu, Iqbal merupakan aktor yang baik tapi Dilan dia tetep ngehe sih. Gombalan kakunya aja bisa ngebuat hati ribuan cewek meleleh gimana kalo nggak kaku? Oh iya, konotasi kaku di sini berarti jelek ya jadi kayak maksa gitu gombalnya.

CGI mobil waktu mama-nya Dilan nganter Milea keliatan banget dan itu berhasil merusak mood nonton gue sesaat padahal lagi mencoba untuk menikmati film janra romantis. Falcon oh Falcon, Dilan padahal bisa jadi film comeback lo, loh!


Jadi


Jadi, film Dilan belum bisa membuat gue merasa puas. Nggak seperti kisah yang ada di novelnya walaupun penulisannya bener-bener kayak buku diary. Gue belum ngerasa Iqbal itu Dilan beda kasus dengan Vanesha dan Milea. Filmnya punya modal gede terutama untuk menggaet pasarnya (anak muda yang masih labil) tapi gue takut berharap besar sama sekuel karena masalah konsistensi cerita yang takutnya banyak diganti (udah suudzon aja gue).

Pokoknya, Dilan di film belum nampol (kecuali adegan berantemnya) karena yang mendarah daging dalam kisah Dilan adalah gombalan dan ke-ngehe-annya (konotasi ngehe yang ini positif). Kalo masih kaku, ya feel dan ambience­-nya kurang ngenak!


Sekian. Sampai jumpa pada Dilan 1991.


Rating Novel: 4/5

Rating Film: 3/5


*Iqbal Yuwan-syah adalah sahabat penulis resensi ini

Ditulis oleh: Kontributor Molor sodara jauh Lebah Ganteng




Tidak ada komentar:

Posting Komentar