(Kumparan.com)
Gini,
judulnya udah nge-gas emang. Ngehe itu memiliki makna ‘gila’ tergantung dari
orangnya mau menggunakan kata itu dengan aksen seperti apa, semua sesuai
kebutuhan masing-masing.
Tetapi,
penulis artikel-ekhm-resensi ini akan menggunakan kata ngehe untuk
merepresentasikan perasaan setelah membaca novel Dilan 1990 (fakta lain, kalo
gue udah baca Dilan sejak tahun 2015 sebelum banyak fangirl yang
tergila-gila dengannya dan gue sering mantengin cuitan Mas Pidi Baiq di tahun
yang sama via Blackberry) juga nonton filmnya beberapa bulan lalu
di sebuah bioskop yang jauh dari hingar bingar perkotaan.
Oke biar gue tekankan, gue nggak benci sama Dilan, malahan menikmati
jalannya cerita baik yang ada di novel maupun f-fi-fil-filmnya. Ya, filmnya.
Nggak kok, gue nggak terbata-bata cuman mencoba untuk dramatis aja.
Kesan untuk Dilan-ku
Berbicara soal Dilan (versi novel) yang pernah gue baca pada tahun
2015, ambience (anjing gaya bgt gue pakek bahasa asing) oke,
suasana yang dirasakan kala itu beda banget sama sekarang mengingat
euphoria-nya lebih terasa saat ini. Dari kemarin ke mana aja? (tenang,
jangan butthurt karena nggak semua orang begitu).
Gue baca Dilan 1990 karena rekomendasi sahabat gue bernama Gadis yang
hingga saat ini kami tetap bersahabat baik. Dia meminjamkan novel Dilan padahal
gue bukan penggemar kisah atau cerita ber-JANRA romantis, ya, walaupun nangis
waktu nonton A Beautiful Mind hahaha asli film itu bagus banget! Ron Howard
menggar—eh bangsat, balik lagi ke Dilan.
Iya, waktu itu gue sempet pengin beli novel Dilan di Gramed tapi entah
kenapa kurang tertarik (terlepas dari janra ya!). Di sisi lain gue penasaran
sama kisahnya mengingat segelintir kaum hawa di tempat les piano ngomongin
Dilan sama Raditya Dika (waktu itu). Untung Gadis peka, dipinjemin deh novel
Dilan.
Kesan pertama gue waktu baca novel Dilan 1990 adalah … kagum dan ngehe!
Belum pernah seumur hidup gue merasa bersalah karena menilai buku bahkan
sebelum dibaca (kala itu, inget KALA ITU!). Kenapa gue berani ngomong kagum dan
ngehe? Pertama karena pembawaan Milea dalam kisah Dilan.
Kenapa Milea?
Gue suka
penyampaian karakter Milea malu-malu tapi punya hati besar untuk mengungkapkan
rasa takutnya. Pintar? Iya, cantik? Jangan ditanya! Milea itu sebenernya
primadona di sekolahnya—tapi—dengan rendah hati dia menganggap dirinya biasa
aja padahal kalo gue ditempatkan dalam posisi Milea, ya udah, gue manfaatkan
kelebihan itu. HAHA! Canda. Milea gemesin kalo di novel (film juga kok).
Ketika
semakin berlarut baca novel Dilan, gue ngerasa bahwa Milea ini tipe perempuan
yang memiliki pemikiran terbuka banget; buat anak seumurannya. Milea punya
kapasitas sebagai pejuang terlepas dari karakternya yang terlihat lemah secara
kasat mata. Dalam artian, Milea bisa dengan mudah menjinakan hewan buas yang
ada di dalam diri Dilan.
Misalnya
melarang Dilan buat bentrok sama sekolah lain. Dilan bucin 1990 sih sebenernya
hahaha! Tapi, serius, nggak semua cewek bisa begitu belum lagi Dilan yang
dikenal jagoan dan secara biologis cowok kan sosok yang dominan dalam suatu
hubungan namun Milea hadir untuk mempertegas bahwa dia berani berargumen juga,
salut!
Pembawaan
tokoh Milea yang nge-gemesin nggak cuman memberikan warna atau pelengkap kisah
Dilan. Milea ya Milea. Dia punya potensi besar yang meronta-ronta di dalam
dirinya untuk bisa dilepaskan. Terutama bagaimana cara Milea untuk
mempertahankan hubungannya dengan Dilan.
Vanesha adalah Milea
Ketika
diadaptasi menjadi film dengan judul yang sama, gue agak ragu dengan peran
Milea diperankan sama Vanesha Prescilla … lagi, gue kembali merasa bersalah.
Vanesha ya Milea yang gue kenal waktu baca novel Dilan seperti penguraian gue
di atas sebelumnya. Dari sekian banyak adegan di novel yang lebih asyik jika
dilihat dan didengar langsung, hal yang paling gue tunggu-tunggu adalah …
Gelak tawa
Milea yang kata Dilan (versi novel) terdengar manis. Kesampean! Gelak tawa
Milea benar-benar hidup dalam Vanesha.
Untuk itulah,
gue seneng banget kalo ada artis pendatang baru unjuk gigi dalam layar lebar.
Jadi nggak monoton, aktor atau aktrisnya itu-itu aja.
Kesan Film dan
novel Dilan (Gue skip kesan buat Mas Dilan karena udah jadi
rahasia umum)
Jujur baru
pertama gue ngeliat sutradara penggarapan film ada dua karena biasanya sutradara cuman satu (sependek yang gue tau sih) di mana Pidi Baiq
juga tercatat sebagai sutradara dalam film ini. Ternyata, filmnya berjalan ok bahkan
nggak banyak adegan dalam novel yang dibuang. Tapi tetep cliché sih karena
percintaannya klasik dan mudah ditebak. Walaupun pakek alur mundur. Overall, gitu sih novelnya dan film DILAN 1990. Tapi tetep gue lebih suka sama
pengisahan di novel ketimbang adaptasi filmnya karena terkesan
ngehe.
Gini tambahan kegelisahan gue aja, ketika film yang diagkat dari novel
biasanya secara gamblang ada pengembangan cerita dalam alurnya. Misalnya kayak
di film The Lord of the Rings: The Return of the King.Peter Jackson
sebagai sutradara merubah adegan perang di babak akhir pertahanan terakhir
Kerajaan Gondor yang harusnya nggak ada pasukan kematian (berbentuk arwah
penasaran) lalu dibuat ‘ada’ oleh sang sutradara. Ya udah, Peter kan yang
memimpin penggarapan film akhirnya dia merubah kisah yang udah tertulis di
novel karya J. R. R. Tolkien.
Tapi kisah
Dilan nggak terlalu mempermasalahkan hal itu mungkin karena Pidi Baiq juga
duduk di kursi sutradara ya?
Sebenernya film Dilan ini ringan, seru dan nge-gemesin untuk diikuti. Tapi
banyak kaum adam yang cemburu karena gebetan sampe pacarnya tersipu-sipu sama
Aa Dilan yang diperankan Iqbal Yuwan … Iqbal Ramadhan.
Kenapa ringan? Karena menawarkan kisah cinta klasik yang cheesy dan
ngambil tema anak sekolahan terutama masa-masa SMA di mana banyak kenangan
terjadi pada masa itu. Semua orang pasti merasakan pahit dan manisnya berproses
di SMA. Dilan memproyeksikan itu dengan baik tapi jujur aja … cheesy, kadang
gue geli sama romantisme yang intens mungkin karena gue nggak ngerasain duduk
di posisi Dilan jadi cemburu hahaha! Balik lagi, romance not everyone
cup of tea, so am I.
Serunya karena Dilan ngambil plot percintaan tahun 90-an yang secara
harfiah enak buat diikuti oleh anak zaman kini karena hal baru bagi mereka dan
nostalgia bagi orang-orang tua yang nonton Dilan. Tapi gitu, setelah pemutaran
film Dilan banyak cowok yang berlagak macam Dilan (puitis maksa, seragam
dikeluarin terus ngegulung buku tulis buat ditaroh di saku belakang celana) dan
cewek nyari pasangan musti mirip Aa Dilan hahahahaha ngehe, maaf
julid!
Nge-gemesin karena Dilan itu anak nakal dan Milea cewek lugu yang ngalir
ngikutin orang-orang. Tapi mereka saling membenahi dan mencintai di tengah
sekelumit konflik yang sering membuat mereka bertengkar. Terlepas dari gombalan
Dilan yang puitis dan ngehe!
Gue berani ngomong nge-gemesin karena ada beberapa adegan di film maupun
novel Dilan 1990 yang pernah gue rasain. –SPOILER ALERT- tapi
gue nggak peduli spoiler, siapa suruh baca resensi gue—canda deng.
Dilan kan nembak Milea secara tertulis—bertanda tangan di atas materai
setelah Dilan membacakan komitmen hubungan mereka yang disepakati dua belah
pihak. Seolah kayak pengesahan Undang-undang gitu.
Nah, sumpah
di sini gue tergelak karena pada tanggal 18 Agustus 2014 gue nembak mantan
persis pakek Undang-undang Cinta kayak gitu. Anjing ketawa geli karena inget
mantan gue yang terpaksa—malu-malu ikut nambahin butir pasal perjanjian kita.
Tapi bedanya gue nggak tanda tangan di atas materai jadi waktu diputusin gue
nggak bisa nuntut beda sama Dilan yang bisa nuntut karena ada bukti otentik
hahaha ngehe emang! Yah, semoga mantan gue bahagia deh sekarang.
Agak Kecewa
Sebenernya gue agak kecewa sama pembawaan Dilan yang diperankan sama Iqbal
Yuwan … Iqbal Ramadhan. Oke, akting dia bagus dan kerasa lah efforts dia
untuk memerankan Dilan. Tapi gombalan dan keromantisan yang disampaikan masih
terkesan kaku dan datar. Nggak seperti yang gue rasain waktu baca novelnya
(catatan: gue ngomong gini bukan cemburu sama mas Iqbal).
Terlepas dari itu, Iqbal merupakan aktor yang baik tapi Dilan dia tetep
ngehe sih. Gombalan kakunya aja bisa ngebuat hati ribuan cewek meleleh gimana
kalo nggak kaku? Oh iya, konotasi kaku di sini berarti jelek ya jadi kayak
maksa gitu gombalnya.
CGI mobil waktu mama-nya Dilan nganter Milea keliatan banget dan itu
berhasil merusak mood nonton gue sesaat padahal lagi mencoba untuk menikmati
film janra romantis. Falcon oh Falcon, Dilan padahal bisa jadi film comeback lo,
loh!
Jadi
Jadi, film Dilan belum bisa membuat gue merasa puas. Nggak seperti kisah
yang ada di novelnya walaupun penulisannya bener-bener kayak buku diary. Gue
belum ngerasa Iqbal itu Dilan beda kasus dengan Vanesha dan Milea. Filmnya
punya modal gede terutama untuk menggaet pasarnya (anak muda yang masih labil)
tapi gue takut berharap besar sama sekuel karena masalah konsistensi cerita
yang takutnya banyak diganti (udah suudzon aja gue).
Pokoknya, Dilan di film belum nampol (kecuali adegan berantemnya) karena
yang mendarah daging dalam kisah Dilan adalah gombalan dan ke-ngehe-annya
(konotasi ngehe yang ini positif). Kalo masih kaku, ya feel dan ambience-nya
kurang ngenak!
Sekian. Sampai jumpa pada Dilan 1991.
Rating Novel: 4/5
Rating Film: 3/5
*Iqbal Yuwan-syah adalah sahabat penulis resensi ini
Ditulis oleh: Kontributor Molor sodara jauh Lebah Ganteng
Tidak ada komentar:
Posting Komentar