Pramoedya Ananta Toer

Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.

Breaking

Loading...

Rabu, 28 November 2018

November 28, 2018

Ralph Breaks The Internet: Tidak Sebagus yang Pertama!


(google.com)

Siapa sih yang gatau film yang mengambil latar game Dingdong satu ini?. Wreck it Ralph adalah sebuah film yang mengadaptasi karakter sebuah game Dingdong tahun 80'an, bernama Fix It Felix Jr dan berbagai game Dingdong lainnya. Ralph sebagai salah satu peran utama dalam film ini adalah karakter antagonis dalam gamenya.

Film ini rilis pada tahun 2012 dan yaa bisa dibilang sangat laris manis. Karena mempunyai cerita yang menarik dan animasi yang sangat ciamik, pada tahun itu. Oke, mungkin kalian sebagai pecinta film pasti tau alur ceritanya yang mengisahkan Vanellope dari game Sugar Rush dan tentunya Ralph.

Namun, paragraf di atas tadi adalah pengantar saja biar tulisan ini sedikit berisi-lah haha. Disini gw akan mereview film keduanya yang bertajuk Ralph Breaks The Internet! ya memang buat masalah terus ini si Ralph.

----Spoiler Alert----

Diperingatkan untuk yang belum nonton, untuk baca terus ripiu gw satu ini, yaaa.. karena emang gabakal gw spoiler-in! gaenak cuy dispoiler-in. Oke Lanjut

FILM INI GASEBAGUS YANG PERTAMA!
Yaa, lu gasalah baca! emang ga sebagus film pertama (no offense!). Gw memakai diksi ini, ya karena gw ga bilang film ini ga seru, garis bawahi, gue ga bilang "GA SERU". Masih seru kok.

Agar ga dikatain, "yah agj lo jangan ngasih tau dong ceritanya, ntar gw gaseru pas nonton," gw rasa di ripiu ini, gw akan cerita sedikit aja atau bisa dibilang hanya kasih gambaran sitik ae.

Film yang kedua ini, mengambil tema internet. Karena memang benar dunia kita sekarang ini gabisa-lah lepas dari yang namanya internet. Mau lu boker sampai mata lo yang tinggal lima watt, lo pasti masih menggunakan internet.

Film ini keseluruhan menceritakan tentang hubungan Ralph dan si lucu, Vanellope. Konfliknya seputar kedua karakter tersebut, tapi tentunya dengan bantuan para penghuni Game, karakter Disney, Warganet, Pop-up, Virus, Pesawat StarWars, ALM Stan Lee, Media Sosial, E-Commerce, tentunya tempat Dingdong Mr. Litwak dan masih banyak lagi.

Bisa gw katakan, film ini sebenarnyaa seru. Tapi gw gak menikmatinya. Hanya beberapa part aja yang bikin gw takjub. Salah satunyaa.... ah jangan deh ntar gw disemprot hahah. Pokoknya beda banget sama yang pertama yang sangat amat seru dan sampai membuat gw merasa itu film cepat banget abisnya :'(.

Namun jangan sedih dulu, film ini tetap seru kok, karena analoginya tentang dunia internet, itu ciamik banget. Kayak misalnya, penggambaran Twitter. Jadi, Twitter digambarkan dengan burung-burung biru yang hinggap di sebuah pohon yang sangat besar dan tinggi, lalu burung-burung tersebut saling berkicau dengan berbagai kontennya.

Part yang paling gw suka yaitu, pas ke webnya Disney yang penuh dengan Princess, dari Putri Salju sampai Moana, pokoknya lengkap!. Asli gw sangat menikmati setiap peran seluruh Princess ini di Wreck It Ralph 2.

Dannnn jangan melupakan Shank alias Gal Gadot! dari game Slaughter Race (game oniline). Gila si Shank ini mirip banget kayak karakter mbak Wonder Woman, penuh ketegasan tapi cakep hehe, cuma bedanya di film ini doi jago banget ngendarain mobil dan megang persneling.

Overall gue bilang film ini tetap seru, tapi gasebagus yang pertama. Kalo mau nonton jangan lupa ajak pacarnya atau adeknya, biar gamalu, karena kebanyakan ga ada yang sendiri hahahaha. Trus jangan beranjak dulu dari kursi, karena ada special performance from Payung Teduh dengan "Sebuah Lagu" dan ada post credit yang kocak!


RATE 7/10


Written by kuroash7

Rabu, 17 Oktober 2018

Oktober 17, 2018

Bangkrutnya Telltale Game, The Walking Dead: Season Finale Game Dapat ‘Pacar’ Baru yang Lebih Baik, Kah?


(GameRevolution.com)
Krisis itu mengerikan kalo nggak bisa dirasakan kehadirannya. Krisis dapat bermuara menuju kehancuran, seperti kisah-kisah zombi pada umumnya yang mengambil premis zombi disangkut pautkan dengan kiamat sampai ambisi manusia dalam melakukan penelitian yang bertentangan dengan hukum alam.

Stop! Di situ aja paragraf awalnya nggak mau bertele-tele (nanti diomelin sama pemiliki blog-nya), ngomong-ngomong soal zombi pasti kita nggak asing dengan The Walking Dead. Sebuah budaya pop yang hadir untuk memuaskan dahaga pecinta serial tv yang diadaptasi langsung dari komik bernuansa gore.

The Walking Dead (selanjutnya akan disingkat TWD) boleh dikatakan menjadi corong kisah zombi yang mengedepankan drama kehidupan manusia ‘saja’ pasca virus misterius menimpa makhluk hidup di bumi. Tidak seperti kebanyakan film zombi yang memfokuskan jalan cerita action seperti Reisdent Evil dan comedy misalnya Zombieland. TWD seolah menjadi suksesor dari film zombi dengan premis sama, yakni Dawn of the Dead (1978 & 2004 re-make) namun dibentuk sebaik mungkin dalam serial televisi.

Tak hanya sampai situ, euphoria berlanjut ke dunia game di mana pada tahun 2012 kisah yang diadaptasi persis seperti versi komiknya ini dapat dinikmati dalam permainan konsol maupun PC.

Siapa sih Game The Waking Dead ini?

TWD tuh sebenernya permainan yang nggak jauh berbeda sama apa yang diceritain pada serial tv dan komik (kalo ada yang baca). Cuman secara pandangan subjektif gue dan resensi-resensi yang ada, argumentasi bahwa TWD versi game itu jauh lebih baik secara narasi dan feel ambience yang dibangun ketimbang serial tv-nya. Termasuk Pewdiepie orang yang berani ber-statement demikian.
Miris? Ya, nggak lah!

Justru ini pertanda baik karena jarang banget ada orang mau setia ngikutin alur game. Sering banget kalo nggak cocok sama selera ditinggalin gitu aja di tengah jalan. Sama aja kayak lo udah capek-capek dapetin ‘dia’ terus lagi berproses untuk menerima kekurangan satu sama lain, eh, ditinggalin gitu aja.

Analogi tadi baru mirirs!

Intinya, TWD versi game itu bisa mengaduk emosi lo (sumpah gw nangis waktu main permainan ini) terutama season 1 dan 2 (season 3 so-so lah). Perasaan dan suasana yang dibangun apik banget dan nggak ngebosenin. Drama gokil diapdu dengan percakapan intens membuat TWD adalah permainan yang harus lo mainin sebelum mati.

Tokoh penting pada permainan TWD antara lain, Lee dan Clementine. Sisanya, pemeran pembantu walaupun ada nilai minus dari permainan ini. Dimana, pemeran-pemeran pembantu itu seolah nggak konsisten dalam cerita TWD versi game, hal ini bisa dilihat dengan terlalu banyaknya tokoh yang muncul dan mati terlalu cepat.

Peraturan game ini sih katanya “Tiap keputusan memengaruhi kelanjutan cerita, buatlah keputusan yang bijak” bullshit! Tapi, nggak seratus persen omong kosong sih. Pokoknya lo harus main untuk merasakan drama intens itu.

Tapi …
Duduk Perkara versi Kontributor MOLOR!

Gini, bukannya bermaksud ngebuat lo kecewa dengan hal-hal menggiurkan yang udah gw ceritain agar kalian mau main game ini. Tapi, studio yang bertanggung jawab penuh dalam menggarap dan menuntaskan kisah TWD season 4 atau lebih dikenal sebagai season finale, bangkrut!
Ya, Telltale Games bangkrut!

Kenapa?
Dilansir dari twitter resmi mereka (@telltalegames), bangkrutnya telltale karena para karyawan yang bekerja di sana meninggalkan kantor secara masal akibat permasalahan gaji yang tak kunjung turun dan tak jelas gimana urusannya.

Kasus ini aneh buat gw—aneh banget, logikanya, telltale punya banyak peminat dalam permainan-permainan yang mereka produksi. Contohnya TWD dan The Wolf Among Us. Secara matematis, Telltale  meraup banyak keuntungan karena fans dari kedua permainan yang barusan gw sebut itu banyak banget.

Bahkan fans setia permainan TWD udah ­pre-order ­jauh sebelum jatuh rilis. Begitupun penggarapan season baru bagi The Wolf Among Us. GILA! Gw salah satu yang kecewa atas apa yang terjadi dengan Telltale karena gw udah pernah ngeluarin lembaran kertas BI buat beli game TWD. Gw yakin penggemar TWD bukan cuman gw doang, kita ngomongin dari aspek seluruh dunia!

Tapi nasi udah jadi bubur. Telltale nggak bisa menyelesaikan krisis mereka bahkan untuk mengendus bau krisis sebelum itu terjadi nggak maksimal.

(Analisis Gw) Sebenernya Gini …

Kalo boleh jujur Telltale itu nggak sesempurna yang gw atau kalian pikirkan. Layaknya studio atau kantor pada umumnya, pasti dong nggak selalu game yang mereka garap memiliki konsistensi baik ataupun cerita yang berkelas.

Banyak—banyaaaaakkkk banget game produksi telltale yang secara harfiah ‘norak’. Misalnya, Jurassic Park: The Game, Minecraft: Story Mode dan Game of Thrones. Sebenernya masih ada beberapa tapi gw kasih tiga contoh aja.

Ketiga cerita di atas buat gw pribadi yang udah pernah merasakan kesan pertama in-game. Wah, anjing, kacrut parah!

Mereka nekat ngambil Jurassic Park yang secara harfiah merupakan karya budaya pop dengan novel dan film (kecuali Jurassic Park 3 karena aneh ceritanya) mendapat rating dan kesan baik bagi pemirsanya.

Lalu, Game of Thrones yang secara industri berhasil baik novel maupun serial tv-nya. Tetapi saat Telltale mencoba untuk mengadopsinya dalam game. Alurnya, percakapannya, karaktersitik para tokoh … bangsat, seolah hilang gitu aja!

(Gw males ngejelasin yang Minecraft. Lo liat aja sendiri, gw gedeg maininnya. Gw trauma kampret!)
Dari 17 games yang udah diproduksi sama Telltale, rating terbaik masih dipegang sama TWD dan The Wolf Among Us. Sisanya cuman main-main doang, parah!

Berarti dari 17 games dibuat yang bagus cuman … ah, sudahlah!

Mungkin bisa aja dari persoalan ini muncul masalah internal bagi Telltale sendiri yang nggak konsisten dalam membuat maupun merilis game berkualitas. Akhirnya mengeluarkan modal gede cuman buat rugi—bukannya untung.

Imbasnya, game sekeren TWD lenyap gitu aja. Kasian orang-orang yang udah nungguin apalagi para kru yang mengorbankan segalanya untuk memuaskan dahaga penggemar setia Clementine (salah satu utama TWD).

Ciee Pacar Baru The Walking Dead: Season Finale

Ciee yang punya pacar baru akhrinya bisa lanjutin episode yang belum kelar.
Ciee yang punya pacar baru berarti bakalan ada romabakan cerita.
Ciee yang punya pacar baru … bakalan lebih baik atau kebalikannya ya?

Iya, TWD udah punya kepastian sekarang. Setelah putus dari Telltale karena bangkrut, Skybound  Entertainment hadir untuk melepas ke-galau-an baik untuk TWD sendiri ataupun bagi para penggemarnya.

Hal ini bisa diintip lewat twitter resmi mereka (@SkyboundGame) yang mengatakan bahwa Skybound seneng banget bisa nerima dan ngelanjutin TWD. Namun, belum tau kapan penggarapan itu berlanjut yang jelas ada kepastian bahwa TWD nggak digantungin lagi, eaa! (ini bukan lagu CJR).

Secara historis, Skybound merupakan perusahaan hiburan yang fokus dalam merilis komik. Fakta menarik, sumpah ini ngebuat gw senyum lebar bahwa Skybound itu adalah rumah asli dari TWD. Di mana, TWD versi komik muncul pertama kali ya berkat Skybound ini.

Sekarang TWD versi game diambil alih sepenuhnya oleh Skybound. Seolah balikan lagi gitu sama mantan, eaa!

Tetapi jangan seneng dulu, Skybound Entertainment itu baru ngebuka Skybound Game itu pada tahun 2018. Jleb. Masih baru banget!

Boleh, secara komik dan tv series Skybound punya pengalaman yang menjanjikan dan berkualitas, tapi kalo game kan suatu hal baru bagi mereka bahkan sejak awal tahun 2018-an masih fokus sama permainan indie.

Bukannya meremehkan kualitas game indie ataupun Skybound Game yang baru merintis. Tapi TWD game kan udah komersial banget dan nggak main-main dalam penggarapannya. Salah langkah dikit bakal menghancurkan kepercayaan mereka apalagi Skybound Game ini baru ngerintis dalam dunia hiburan game?!

Dilema? Bisa jadi.

Gambling? Mungkin.

Seenggaknya gw seneng masih ada yang mau ngelanjutin kisah TWD daripada nggak ada kepastian sama sekali kayak ‘dia’. Gw berharap langkah ini tepat buat Skybound Game. Nggak sampe di situ aja.
Skybound, please, tutup tahun 2018 gw dengan kesan yang manis karena tahun ini udah terlalu pahit bagi gw (bangsat malah curhat).

Sekian. Sampai bertemu pada artikel selanjutnya!

Ditulis oleh Kontributor Molor.


Sabtu, 06 Oktober 2018

Oktober 06, 2018

Dilan “Ngehe” 1990: Nostalgia yang Bikin Tergila-gila



(Kumparan.com)

Gini, judulnya udah nge-gas emang. Ngehe itu memiliki makna ‘gila’ tergantung dari orangnya mau menggunakan kata itu dengan aksen seperti apa, semua sesuai kebutuhan masing-masing.

Tetapi, penulis artikel-ekhm-resensi ini akan menggunakan kata ngehe untuk merepresentasikan perasaan setelah membaca novel Dilan 1990 (fakta lain, kalo gue udah baca Dilan sejak tahun 2015 sebelum banyak fangirl yang tergila-gila dengannya dan gue sering mantengin cuitan Mas Pidi Baiq di tahun yang sama via Blackberry) juga nonton filmnya beberapa bulan lalu di sebuah bioskop yang jauh dari hingar bingar perkotaan.

Oke biar gue tekankan, gue nggak benci sama Dilan, malahan menikmati jalannya cerita baik yang ada di novel maupun f-fi-fil-filmnya. Ya, filmnya. Nggak kok, gue nggak terbata-bata cuman mencoba untuk dramatis aja.



Kesan untuk Dilan-ku


Berbicara soal Dilan (versi novel) yang pernah gue baca pada tahun 2015, ambience (anjing gaya bgt gue pakek bahasa asing) oke, suasana yang dirasakan kala itu beda banget sama sekarang mengingat euphoria-nya lebih terasa saat ini. Dari kemarin ke mana aja? (tenang, jangan butthurt karena nggak semua orang begitu).

Gue baca Dilan 1990 karena rekomendasi sahabat gue bernama Gadis yang hingga saat ini kami tetap bersahabat baik. Dia meminjamkan novel Dilan padahal gue bukan penggemar kisah atau cerita ber-JANRA romantis, ya, walaupun nangis waktu nonton A Beautiful Mind hahaha asli film itu bagus banget! Ron Howard menggar—eh bangsat, balik lagi ke Dilan.

Iya, waktu itu gue sempet pengin beli novel Dilan di Gramed tapi entah kenapa kurang tertarik (terlepas dari janra ya!). Di sisi lain gue penasaran sama kisahnya mengingat segelintir kaum hawa di tempat les piano ngomongin Dilan sama Raditya Dika (waktu itu). Untung Gadis peka, dipinjemin deh novel Dilan.

Kesan pertama gue waktu baca novel Dilan 1990 adalah … kagum dan ngehe! Belum pernah seumur hidup gue merasa bersalah karena menilai buku bahkan sebelum dibaca (kala itu, inget KALA ITU!). Kenapa gue berani ngomong kagum dan ngehe? Pertama karena pembawaan Milea dalam kisah Dilan.


Kenapa Milea?


Gue suka penyampaian karakter Milea malu-malu tapi punya hati besar untuk mengungkapkan rasa takutnya. Pintar? Iya, cantik? Jangan ditanya! Milea itu sebenernya primadona di sekolahnya—tapi—dengan rendah hati dia menganggap dirinya biasa aja padahal kalo gue ditempatkan dalam posisi Milea, ya udah, gue manfaatkan kelebihan itu. HAHA! Canda. Milea gemesin kalo di novel (film juga kok).

Ketika semakin berlarut baca novel Dilan, gue ngerasa bahwa Milea ini tipe perempuan yang memiliki pemikiran terbuka banget; buat anak seumurannya. Milea punya kapasitas sebagai pejuang terlepas dari karakternya yang terlihat lemah secara kasat mata. Dalam artian, Milea bisa dengan mudah menjinakan hewan buas yang ada di dalam diri Dilan.

Misalnya melarang Dilan buat bentrok sama sekolah lain. Dilan bucin 1990 sih sebenernya hahaha! Tapi, serius, nggak semua cewek bisa begitu belum lagi Dilan yang dikenal jagoan dan secara biologis cowok kan sosok yang dominan dalam suatu hubungan namun Milea hadir untuk mempertegas bahwa dia berani berargumen juga, salut!

Pembawaan tokoh Milea yang nge-gemesin nggak cuman memberikan warna atau pelengkap kisah Dilan. Milea ya Milea. Dia punya potensi besar yang meronta-ronta di dalam dirinya untuk bisa dilepaskan. Terutama bagaimana cara Milea untuk mempertahankan hubungannya dengan Dilan.
Vanesha adalah Milea

Ketika diadaptasi menjadi film dengan judul yang sama, gue agak ragu dengan peran Milea diperankan sama Vanesha Prescilla … lagi, gue kembali merasa bersalah. Vanesha ya Milea yang gue kenal waktu baca novel Dilan seperti penguraian gue di atas sebelumnya. Dari sekian banyak adegan di novel yang lebih asyik jika dilihat dan didengar langsung, hal yang paling gue tunggu-tunggu adalah …

Gelak tawa Milea yang kata Dilan (versi novel) terdengar manis. Kesampean! Gelak tawa Milea benar-benar hidup dalam Vanesha. 

Untuk itulah, gue seneng banget kalo ada artis pendatang baru unjuk gigi dalam layar lebar. Jadi nggak monoton, aktor atau aktrisnya itu-itu aja.


Kesan Film dan novel Dilan (Gue skip kesan buat Mas Dilan karena udah jadi rahasia umum)


Jujur baru pertama gue ngeliat sutradara penggarapan film ada dua karena biasanya sutradara cuman satu (sependek yang gue tau sih) di mana Pidi Baiq juga tercatat sebagai sutradara dalam film ini. Ternyata, filmnya berjalan ok bahkan nggak banyak adegan dalam novel yang dibuang. Tapi tetep cliché sih karena percintaannya klasik dan mudah ditebak. Walaupun pakek alur mundur. Overall, gitu sih novelnya dan film DILAN 1990. Tapi tetep gue lebih suka sama pengisahan di novel ketimbang adaptasi filmnya karena  terkesan ngehe.

Gini tambahan kegelisahan gue aja, ketika film yang diagkat dari novel biasanya secara gamblang ada pengembangan cerita dalam alurnya. Misalnya kayak di film The Lord of the Rings: The Return of the King.Peter Jackson sebagai sutradara merubah adegan perang di babak akhir pertahanan terakhir Kerajaan Gondor yang harusnya nggak ada pasukan kematian (berbentuk arwah penasaran) lalu dibuat ‘ada’ oleh sang sutradara. Ya udah, Peter kan yang memimpin penggarapan film akhirnya dia merubah kisah yang udah tertulis di novel karya J. R. R. Tolkien.

Tapi kisah Dilan nggak terlalu mempermasalahkan hal itu mungkin karena Pidi Baiq juga duduk di kursi sutradara ya?

Sebenernya film Dilan ini ringan, seru dan nge-gemesin untuk diikuti. Tapi banyak kaum adam yang cemburu karena gebetan sampe pacarnya tersipu-sipu sama Aa Dilan yang diperankan Iqbal Yuwan … Iqbal Ramadhan.

Kenapa ringan? Karena menawarkan kisah cinta klasik yang cheesy dan ngambil tema anak sekolahan terutama masa-masa SMA di mana banyak kenangan terjadi pada masa itu. Semua orang pasti merasakan pahit dan manisnya berproses di SMA. Dilan memproyeksikan itu dengan baik tapi jujur aja … cheesy, kadang gue geli sama romantisme yang intens mungkin karena gue nggak ngerasain duduk di posisi Dilan jadi cemburu hahaha! Balik lagi, romance not everyone cup of tea, so am I.

Serunya karena Dilan ngambil plot percintaan tahun 90-an yang secara harfiah enak buat diikuti oleh anak zaman kini karena hal baru bagi mereka dan nostalgia bagi orang-orang tua yang nonton Dilan. Tapi gitu, setelah pemutaran film Dilan banyak cowok yang berlagak macam Dilan (puitis maksa, seragam dikeluarin terus ngegulung buku tulis buat ditaroh di saku belakang celana) dan cewek nyari pasangan musti mirip Aa Dilan hahahahaha ngehemaaf julid!

Nge-gemesin karena Dilan itu anak nakal dan Milea cewek lugu yang ngalir ngikutin orang-orang. Tapi mereka saling membenahi dan mencintai di tengah sekelumit konflik yang sering membuat mereka bertengkar. Terlepas dari gombalan Dilan yang puitis dan ngehe!

Gue berani ngomong nge-gemesin karena ada beberapa adegan di film maupun novel Dilan 1990 yang pernah gue rasain. –SPOILER ALERT- tapi gue nggak peduli spoiler, siapa suruh baca resensi gue—canda deng.

Dilan kan nembak Milea secara tertulis—bertanda tangan di atas materai setelah Dilan membacakan komitmen hubungan mereka yang disepakati dua belah pihak. Seolah kayak pengesahan Undang-undang gitu.

Nah, sumpah di sini gue tergelak karena pada tanggal 18 Agustus 2014 gue nembak mantan persis pakek Undang-undang Cinta kayak gitu. Anjing ketawa geli karena inget mantan gue yang terpaksa—malu-malu ikut nambahin butir pasal perjanjian kita. Tapi bedanya gue nggak tanda tangan di atas materai jadi waktu diputusin gue nggak bisa nuntut beda sama Dilan yang bisa nuntut karena ada bukti otentik hahaha ngehe emang! Yah, semoga mantan gue bahagia deh sekarang.


Agak Kecewa


Sebenernya gue agak kecewa sama pembawaan Dilan yang diperankan sama Iqbal Yuwan … Iqbal Ramadhan. Oke, akting dia bagus dan kerasa lah efforts­ dia untuk memerankan Dilan. Tapi gombalan dan keromantisan yang disampaikan masih terkesan kaku dan datar. Nggak seperti yang gue rasain waktu baca novelnya (catatan: gue ngomong gini bukan cemburu sama mas Iqbal).

Terlepas dari itu, Iqbal merupakan aktor yang baik tapi Dilan dia tetep ngehe sih. Gombalan kakunya aja bisa ngebuat hati ribuan cewek meleleh gimana kalo nggak kaku? Oh iya, konotasi kaku di sini berarti jelek ya jadi kayak maksa gitu gombalnya.

CGI mobil waktu mama-nya Dilan nganter Milea keliatan banget dan itu berhasil merusak mood nonton gue sesaat padahal lagi mencoba untuk menikmati film janra romantis. Falcon oh Falcon, Dilan padahal bisa jadi film comeback lo, loh!


Jadi


Jadi, film Dilan belum bisa membuat gue merasa puas. Nggak seperti kisah yang ada di novelnya walaupun penulisannya bener-bener kayak buku diary. Gue belum ngerasa Iqbal itu Dilan beda kasus dengan Vanesha dan Milea. Filmnya punya modal gede terutama untuk menggaet pasarnya (anak muda yang masih labil) tapi gue takut berharap besar sama sekuel karena masalah konsistensi cerita yang takutnya banyak diganti (udah suudzon aja gue).

Pokoknya, Dilan di film belum nampol (kecuali adegan berantemnya) karena yang mendarah daging dalam kisah Dilan adalah gombalan dan ke-ngehe-annya (konotasi ngehe yang ini positif). Kalo masih kaku, ya feel dan ambience­-nya kurang ngenak!


Sekian. Sampai jumpa pada Dilan 1991.


Rating Novel: 4/5

Rating Film: 3/5


*Iqbal Yuwan-syah adalah sahabat penulis resensi ini

Ditulis oleh: Kontributor Molor sodara jauh Lebah Ganteng




Rabu, 03 Oktober 2018

Oktober 03, 2018

Aruna dan Lidahnya: Sebuah Karya dari seorang Chef & Co Chef FILM yang Ajipppp.



(Alinea.id)

Film ini sudah menarik perhatian ketika trailer pertama muncul. Karena pemirsa seakan diajak untuk kembali nostalgia dengan “Ada Apa Dengan Cinta” yang menampilkan Cinta Cuek dari Rangga (Nicholas Saputra) dan Sikap Malu-Malu Kucing dari Cinta (Dian Sastro). Eitss namun ternyata bukan kembali mengajak pemirsa untuk mengenang Rangga dan Cinta, namun kisah Rangga dan Cinta hanya sebagai teman dekat hmmmm.

Aruna&Lidahnya merupakan film yang adaptasi dari novel karya Laksmi Pamuntjak. Dan Laksmi sendiri dipercaya untuk menjadi Co Chef (Penulis Naskah) dalam film arahan Seorang “Pedatang Baru” Edwin (Chef/Sutradara). Dalam Film ini menceritakan tentang keragaman kuliner nusantara yang dituntun oleh Aruna (Dian Sastro), Lidahnya, Bono (Nicholas Saputra), ditemani Nadezhda (Hannah Al Rashid) dan Farish (Oka Antara). Namun bukan hanya diajak untuk “ngilerin” makanan yang Ajipppp, tetapi juga bercerita dari sudut yang cerdas tentang politik, temannya (korupsi), dan tentu saja percintaan orang dewasa (xxx).



------SPOILER ALERT-------



Ini merupakan film yang saya tunggu-tunggu ketika menonton trailer pertamanya rilis. Dan akhirnya saya bisa menontonnya walaupun sendirian. Alasan mengapa saya ingin sekali menonton ini adalah karena Ada Rangga dan Cinta yang sangat ikonik itu, ada makanan yang jarang sekali film indonesia mengangkat genre ini, ada Yura Yunita mengisi Soundtracknya, dannnn ada mas Edwin a.k.a BabiButaFilm yang karyanya saya sangat suka yaitu POSESIF!(kayak saya).

Saya gausah lah ya nyeritain biografi Edwin dan film Edwin dan pengalaman Edwin, karena review-review yang ada kayak gitunya udah basi kek nasi. Kamu bisa langsung searching di google atau ga ketemuan aja langsung sama mas Edwin hehe.

Okee, ayo kita mulai. Namun saya gak banyak-banyak spoiler lah biar kamu-kamu yang belom nonton, gak nyalahin saya karena menulis ini.

Film ini diawali dengan Aruna dan Lidahnya dan seluruh tubuhnya yang memakai busana pastinya, sedang memasak sop buntut, ASLI itu sop buntut enak banget kelihatannya, sinematografinya bagus banget. Semua makanan dalam film ini serasa ada didepan kamu dan siap untuk dilahap. Hmmm saya jadi laper kan gara-gara ngebayangin.

Ditengah-tengah film konflik pun mulai terjadi, intrik-intrik masalah sudah tercium dan masalah percintaan sudah mulai kerasa. Saya gak akan bilang siapa cinta siapa atau siapa suka siapa, biar kamu nonton sendiri. Kalau Akhir dalam film ini, you know lah xixixixixixi~.

Yang membuat film ini menarik bukan hanya penggambaran beragam kuliner nusantara, namun banyak dialog-dialog cerdas dan sentilan sedikit akan permasalahan yang ‘sering’ sekali terjadi di dunia nyata negara Indonesia. Kamu bakal paham deh kalo nontonnya serius gak pake Grepe-grepe.

Oh iya berbicara tentang soundtracknya, film ini harus berterima kasih kepada mbak Yura Yunita dengan Takkan Apa-nya yang menyihir kita untuk larut dalam film ini sampai Budhe Soimah dengan Hook A Hook E-nya yang membuat kita bahagia seakan mau joget trus nyawer mbak-mbak XXI.

Udah ah reviewnya singkat aja, jangan banyak-banyak soalnya orang Indonesia sekarang males baca tulisan yang kebanyakan. Pokoknya kamu yang belum nonton, tontonlah! Film ini bagus plus bikin LAPER!! Tapi jangan makan dulu sebelum nonton, biar kerasa “NGILER-NYA!!”.




Rate 9/10

Written by kuroash7


Rabu, 26 September 2018

September 26, 2018

Cowok Suka Drama Korea, Salahkah?


(https://www.thesun.co.uk)

Drama Korea, siapa sih yang gatau drama yang berasal dari negri gingseng ini. Drama Korea mirip-miriplah kayak sinetron atau FTV di Indonesia, namun bedanya Indonesia lebih mentingin rating sedikit ketinggalan dari segi cinematographynya.

Drama Korea atau biasa disebut dengan akronim “drakor” rata-rata peminatnya adalah kaum wanita dengan range usia dari 5 tahun sampai tua hahahaha, bercanda. Biasanya yang menyukai drakor ini adalah anak remaja sampai ibu-ibu yang gabut.

Pokoknya drakor itu identik dengan ciwi-ciwi yang suka cowok ganteng, suka dengan segala yang berbau Korea, yang suka sedih, melankolis orangnya, dan biasanya selain suka drakor, dia juga pasti suka akan Kpop khususnya Boyband Korea xixixixixixi~.

Namun, bagaimana dengan laki-laki yang menyukai drama dari negri gingseng tersebut. Contohnya saya, cowok yang suka nontonin drakor dan sedikit suka dengan ciwi-ciwi pamer paha girlband asal korea. Sepertinya hanya 1 banding 1000 orang disetiap daerah wqwq.

Awal saya suka dengan drakor, dimulai dari emakq yang suka banget nonton drakor yang dulu ditayangin di indosiar ( kalo gak salah). Drakor yang pertama saya tonton yaitu a Jewel in the Palace atau sebutan tenarnya, Jang Geum. Drakor ini bercerita tentang seorang dokter atau tabib perempuan pertama dari Dinasti Joseon dan sangat seru ceritanya, sampai-sampai membuat saya pada waktu itu bercita-cita jadi dokter.

“Drakor itu tontonan cewek, kalau cowok yang nnton, banci berarti”, “isinya plastik semua gitu kenapa ditonton”, “mendingan lo nnton bokep bro dibandingkan drakor sampah”. Stigma tersebut lah yang saya sering dengar dan lihat ketika netijen maha benar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) memandang drakor.

Stigma itu muncul karena Korea Selatan sebagai kiblat untuk orang-orang yang ingin melalakukan operasi plastik (oplas), pokoknya dunia kencatikan lah. Namun bukan hanya perempuan yang melakukannya, tetapi laki-laki turut ikut serta. Contohnya saja Boyband Korea yang sebagian besar membernya melakukan oplas. Maka dari itu cowo Korea dianggap lemah, banci, bisanya nari doang dsb. Mungkin yang menganggap gitu belum kenal Park Ji Sung atau Son Heung Min.

Atas dasar itulah yang membuat netijen metalhead khususnya di negri yang kita cintai ini bahwa yang suka Korea, apalagi cowok, itu banci, alay, dan lemah. Pokoknya meraka anti dengan hal-hal yang berbau korea. Dan selalu merasa kesukaan mereka yang benar dan yang suka Korea itu salah.

Baru-baru ini saya mendapat sebuah komentar dari seorang teman, yang secara tidak sengaja mengetahui saya suka drakor, dia bilang gini, “semoga kau kembali jalan yang benar”. Emang kenapa sih kalau cowok suka drakor? Salah ya?,  Sesuatu keanehan?, otomatis jadi banci?, saya masih kurang paham.

Padahal drakor menurut saya adalah suatu tontonan yang menarik untuk diikuti, karena pertama dari segi cinematography sangat ciamik (diakibatkan perkembangan dunia kamera yang sangat cepat di Korea), kedua ceritanya gak biasa atau out of the box lah, gak kayak sinetron Indonesia yang ngangkat cerita seperti Cinta Segitiga antar Aku, Kau, dan Kang Nasi Goreng atau Ibuku Ternyata adalah Bapaku juga (nah loh). Coba deh sekali kali nonton drakor tapi yang ratingnya bagus supaya kamu tau.

Kesukaan setiap orang pasti berbeda, janganlah saling menjelekan atau bahkan sampai menghina kesukaan orang lain. Coba deh berpikir lebih terbuka, jangan melihat sesuatu dari sisi jeleknya aja. Mau sampai kapan kita hanya menjadi bangsa nomor satu “penggunjing”. Lihat tuh negara Korea Selatan, teknologinya udah maju, bahkan sampai dunia perfilmannya. Pada jaman yang menuntut kita harus terus maju ini, kita juga harus meniru kemajuannya apalagi dunia perfilmannya dan oplasnya. Tunjukan bahwa Indonesia gak hanya bisa menggunjing tapi juga bisa bersaing, anjing!.

Written by kuroash7

September 26, 2018

Mahasiswa Umum yang dipandang Sebelah Mata(?)

(https://illuminatiwatcher.com)

Saya adalah seorang mahasiswa tingkat akhir yang sebentar lagi berkutat di depan laptop dengan tujuan menyusun tulisan ilmiah yang tidak berguna digunakan sebagai syarat untuk lulus pada jenjang Strata 1. Selama saya kuliah, saya bisa dikatakan mahasiswa amfibi dimana berada diantara mahasiswa umum a.k.a biasa a.k.a MAUM dan mahasiswa organisasi yang pasif.

Konon katanya, dunia organisasi adalah suatu hal yang penting pada saat anda berkuliah. Jika tidak terlibat dalam organisasi berarti anda bukan mahasiswa sesungguhnya, mahasiswa yang gapeduli, mahasiswa yang tujuannya hanya mencari ijazah, mahasiswa lemah, bukan aktivis. Dan katanya juga, Organisasi itu penting karena pasti korporat-korporat di luar sana pasti mendahulukan orang yang mempunyai pengalaman organisasi. Hmmm iya kah?

Dari kacamata saya sebagai seorang penghuni lama kampus, Mahasiswa baru atau yang kita sering sebut MABA, berbondong-bondong mendaftar organisasi di dalam kampus. Ada yang niatnya memang mencari teman, mencari kekuasaan , mencari pacar, mencari tempat nongkrong saat waktu luang, dan mencari pengalaman organisasi seperti yang saya katakan diatas, karena mendengar bahwa korporat lebih suka pada anak organisasi.

Saya mengakui bahwa memang Organisasi itu penting untuk mengembangkan diri sampai menjadi terbiasa bekerja sama dengan orang lain atau dengan satu tim. Namun yang membuat saya sedikit tidak nyaman adalah pandangan dari mahasiswa yang terlibat organisasi atas MAUM. Mereka menganggap MAUM adalah anak-anak yang gapeduli dengan kampusnya, anak-anak yang gatau apa-apa.  Pokoknya Mahasiswa organisasi itu seperti tahu segalanya ketimbang MAUM.

Mahasiswa Organisasi "yang biasanya" seperti itu, karena menganggap mereka sering beradu argumentasi, sering berdiskusi, sering membedah buku, sering demo, lebih kritis. Namun pertanyaannya apakah MAUM tidak dapat melakukan itu semua?

Contohnya saja teman saya sebut saja BAMBANG. Dia merupakan mahasiswa yang tidak terlibat dalam organisasi apapun di kampus. Ketika dikelas, dia itu sangat kristis, selalu gemar bertanya, bahkan berani adu argumentasi dengan dosen. Saya tidak tahu apakah dia orang yang maniak buku, sangat cepat daya tangkapnya, atau bahkan seorang aktivis di luar kampus, namun tidak ada yang tahu.

Soal kemampuan itu relatif, tergantung kemampuan otak dan daya tangkap, ada yang cepat atau lambat. Dalam perkuliahan, pasti mahasiswa memilki perbedaan didalam menangkap ilmu dari penjelasan dosen, tergantung kemampuan otak masing-masing.

Bisa jadi para MAUM itu belajar organisasi di luar kampus seperti teman saya tadi, karena melihat suasana organisasi di dalam kampus itu membosankan, tidak akan berkembang, yang dibahas itu-itu saja, ketemu orang yang sama setiap hari, sampai kurang menantang karena kalau ga masalah duit paling clash antar organisasi. Maka dari itu mereka yang berlabel MAUM seperti apatis dengan kegiatan  di dalam kampus, karena di luar lebih menyenangkan *wallahualam.

Atau bisa juga mereka tidak bisa bergabung didalam organisasi karena banyak alasan yang menghalangi mereka. Seperti faktor rumah jauh, ada kerjaan diluar demi membayar uang kuliah, atau lain hal. Sama halnya seperti saya, karena faktor jarak rumah dan kampus yang cukup jauh, sehingga saya diawal semester memutuskan untuk tidak gabung dan menjadi anggota aktif.

Jadi menurut hemat saya, mahasiswa itu sebenarnya sama saja, janganlah membedakan kemampuan seseorang dengan mengklasifikasikan dia mahasiswa aktivis, dia mahasiswa organisasi banget, dia mahasiswa biasa a.k.a MAUM, dia mahasiswa yang Cuma bisa nongkrong, dsb. Karena kita sama sama mengejar impian di tempat yang sama, sama-sama menjadi generasi penerus bangsa, namun mungkin jalan yang kita tempuh sangatlah berbeda jauh. Sama halnya dengan jangan memandang sebelah mata orang yang dianggap boneka yang sekarang berubah menjadi orang, xixixixixi~

Written by kuroash7